Jumat 08 Oktober 2021/ 20:00 WITA
Oleh : Tim HNM Indonesia
Luwu Timur, Sulsel - Laporan kasus asusila yang dilayangkan T kepada penyidik Reserse dan Kriminal Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada 9 Oktober 2019 silam, tidak membuahkan hasil. Bahkan laporan ini dihentikan polisi dengan alasan tidak cukup bukti.
Kepada HNM Indonesia, T bercerita tentang perjuangannya selama tiga tahun mencari keadilan seorang diri. Dia bahkan sampai putus asa waktu itu.
"Dan hanya bisa berharap keadilan dari yang kuasa untuk tiga anak saya. Saya terus berdoa, ya Allah kalau di dunia ini susah mendapatkan keadilan, saya meminta keadilanmu, engkau maha adil berikan keadilanmu," kata T.
Dalam kasus ini, T merasa tidak mendapatkan keadilan. Bahkan dia dicap mengalami gangguan kejiwaan. T bercerita label gangguan jiwa yang disematkan padanya, adalah bagian dari upaya untuk mengalihkan kasus ini. Sebab kata dia, pernah seorang kerabatnya melaporkan kasus KDRT ke polisi, namun penyidikannya dihentikan dengan alasan pelapor mengalami gangguan jiwa.
"Rekan saya itu pahanya disetrika oleh suaminya, melapor di Polres tapi suaminya malah menuduh istrinya yang sendiri yang melakukannya, rekanku ini juga dibilangi gangguan jiwa, tapi kasus ini kemudian ditangani Hotman Paris dan kasusnya dibuka kembali dan sekarang pelakunya sudah di penjara," cerita T.
Dia juga berharap, kasusnya ini bisa sampai pada Hotman Paris. Menurutnya kasus ini adalah ujian berat baginya. Stigma gangguan jiwa yang selalu disematkan pada dia dan rekannya menjadi alasan buat polisi untuk cepat menutup kasus ini.
"Pernah saya tanyakan ini ke Polisi penyidik, tapi nomor saya langsung diblokir," katanya.
Sementara Rezky Pratiwi, pengacara T, mengatakan kasus ini sebenarnya sudah dilaporkan lagi di Polda Sulsel tahun 2020 yang lalu. Ada beberapa bukti baru yang diajukan, misalnya laporan psikologis dari psikolog anak.
Oleh : Tim HNM Indonesia
Luwu Timur, Sulsel - Laporan kasus asusila yang dilayangkan T kepada penyidik Reserse dan Kriminal Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada 9 Oktober 2019 silam, tidak membuahkan hasil. Bahkan laporan ini dihentikan polisi dengan alasan tidak cukup bukti.
Kepada HNM Indonesia, T bercerita tentang perjuangannya selama tiga tahun mencari keadilan seorang diri. Dia bahkan sampai putus asa waktu itu.
"Dan hanya bisa berharap keadilan dari yang kuasa untuk tiga anak saya. Saya terus berdoa, ya Allah kalau di dunia ini susah mendapatkan keadilan, saya meminta keadilanmu, engkau maha adil berikan keadilanmu," kata T.
Dalam kasus ini, T merasa tidak mendapatkan keadilan. Bahkan dia dicap mengalami gangguan kejiwaan. T bercerita label gangguan jiwa yang disematkan padanya, adalah bagian dari upaya untuk mengalihkan kasus ini. Sebab kata dia, pernah seorang kerabatnya melaporkan kasus KDRT ke polisi, namun penyidikannya dihentikan dengan alasan pelapor mengalami gangguan jiwa.
"Rekan saya itu pahanya disetrika oleh suaminya, melapor di Polres tapi suaminya malah menuduh istrinya yang sendiri yang melakukannya, rekanku ini juga dibilangi gangguan jiwa, tapi kasus ini kemudian ditangani Hotman Paris dan kasusnya dibuka kembali dan sekarang pelakunya sudah di penjara," cerita T.
Dia juga berharap, kasusnya ini bisa sampai pada Hotman Paris. Menurutnya kasus ini adalah ujian berat baginya. Stigma gangguan jiwa yang selalu disematkan pada dia dan rekannya menjadi alasan buat polisi untuk cepat menutup kasus ini.
"Pernah saya tanyakan ini ke Polisi penyidik, tapi nomor saya langsung diblokir," katanya.
Sementara Rezky Pratiwi, pengacara T, mengatakan kasus ini sebenarnya sudah dilaporkan lagi di Polda Sulsel tahun 2020 yang lalu. Ada beberapa bukti baru yang diajukan, misalnya laporan psikologis dari psikolog anak.
"Bahwa terjadi kekerasan seksual pada anak yang pelakunya tidak hanya terlapor tapi ada dua orang lain, nah fakta ini yang justru tidak terbuka dalam BAP penyidik sebelumnya," kata Rezky Pratiwi.
Dia menjelaskan adanya pelaku lain ini berdasarkan keterangan para anak kepada psikolog. Menurutnya kalau penyelidikan dilakukan dengan baik semestinya ini terungkap bahwa kekerasan seksual ini dilakukan lebih dari satu orang pelaku.
Dia menjelaskan adanya pelaku lain ini berdasarkan keterangan para anak kepada psikolog. Menurutnya kalau penyelidikan dilakukan dengan baik semestinya ini terungkap bahwa kekerasan seksual ini dilakukan lebih dari satu orang pelaku.
Sehingga wajar saja kata Rezky jika penyidik Polres Luwu Timur mengatakan kasus ini tidak cukup bukti, karena memang pengambilan keterangan hanya dilakukan polisi saja, tidak ada perlibatan pihak lain, psikolog, dan pengacara.
"Memang penyidikannya tidak optimal, dokumen lain yang kami lampirkan juga ada keterangan dokter dari fasilitas kesehatan rujukan, dan diagnosa dokter memang ada kekerasan pada anak. Kemudian assesmen P2TPD2A Luwu Timur, tergambar bahwa para anak tidak kelihatan trauma, kami anggap asssesmen ini berpihak, karena korban dan terlapor justru dipertemukan, harusnya tidak boleh. Dan justru assesmen dari P2TPD2A inilah yang dijadikan rujukan polisi dalam menangani kasus ini," ujarnya.
Keterangan para anak pada psikolog sebenarnya sudah cukup kuat ditambah keterangan hasil visum dari dokter yang menemukan adanya kekerasan pada korban.
"Kami menunggu respon resmi dari Polri karena kasus ini sudah kami laporkan secara resmi dan sampai hari ini kami belum mendapatkan jawaban. Polri silakan membuka lagi kasus ini biar para anak bisa mendapatkan keadilan, bukan hanya bicara ke media," katanya.
Sementara Kapolres Luwu Timur, AKBP Silvester Imamora mengatakan pihaknya menemui ibu korban, siang tadi. Polisi kata dia mengarahkan korban untuk menyerahkan bukti-bukti yang dimiliki pada polisi.
"Tapi kasus ini sudah diambil alih Polda. Tadi saya langsung menemui korban di rumahnya dan pada dasarnya ibunya welcome kok dan dalam waktu dekat ini akan menyerahkan sejumlah alat bukti pada kami," kata Silvester Imamora.
Adapun S, terlapor dalam kasus ini belum dapat dikonfirmasi.
"Memang penyidikannya tidak optimal, dokumen lain yang kami lampirkan juga ada keterangan dokter dari fasilitas kesehatan rujukan, dan diagnosa dokter memang ada kekerasan pada anak. Kemudian assesmen P2TPD2A Luwu Timur, tergambar bahwa para anak tidak kelihatan trauma, kami anggap asssesmen ini berpihak, karena korban dan terlapor justru dipertemukan, harusnya tidak boleh. Dan justru assesmen dari P2TPD2A inilah yang dijadikan rujukan polisi dalam menangani kasus ini," ujarnya.
Keterangan para anak pada psikolog sebenarnya sudah cukup kuat ditambah keterangan hasil visum dari dokter yang menemukan adanya kekerasan pada korban.
"Kami menunggu respon resmi dari Polri karena kasus ini sudah kami laporkan secara resmi dan sampai hari ini kami belum mendapatkan jawaban. Polri silakan membuka lagi kasus ini biar para anak bisa mendapatkan keadilan, bukan hanya bicara ke media," katanya.
Sementara Kapolres Luwu Timur, AKBP Silvester Imamora mengatakan pihaknya menemui ibu korban, siang tadi. Polisi kata dia mengarahkan korban untuk menyerahkan bukti-bukti yang dimiliki pada polisi.
"Tapi kasus ini sudah diambil alih Polda. Tadi saya langsung menemui korban di rumahnya dan pada dasarnya ibunya welcome kok dan dalam waktu dekat ini akan menyerahkan sejumlah alat bukti pada kami," kata Silvester Imamora.
Adapun S, terlapor dalam kasus ini belum dapat dikonfirmasi.